Perkenalkan namaku Jemima, bisa dipanggil Mima. Aku mempunyai seorang kekasih yang sangat ku cintai bernama Benji, kami sudah bersama sekitar 1 tahun. Perkenalan kami yang singkat akhirnya berujung dengan kesepakatan untuk menikah, maka dari itu kedua orang tua kami sudah membebaskan kami untuk tidur bersama entah dirumahku atau dirumah nya.
Kebetulan malam ini aku menginap dirumah Benji, aku mengobrol sebentar dengan ibunya dan memutuskan untuk tidur di lantai 2.
Waktu menunjukan pukul 23.00, pantas saja aku mengantuk. Aku tertidur menghadap arah tembok membelakangi Benji. Tiba-tiba aku merasakan jariku mencakar-cakar ke tebok dan aku menangis. Benji terbangun ketakutan, ia memanggil namaku berulang kali namun aku tidak menyauti nya. Rongga dadaku seperti tertahan ke tempat tidur oleh jemari berkuku panjang milik seorang perempuan tua. Mataku memandang dengan jelas, seperti saat menggunakan kacamata. Nafasku tidak teratur seakan mencari udara, namun tidak berhasil. Benji menggoncangkan tubuhku berusaha menyatukan sebagian diriku.
Benji berhasil merubah posisi ku yang awal nya terbaring kemudian menjadi terduduk. Tatapanku kosong. Jemari tua itu menghantui alam bawah sadarku. Kekasihku mulai bertanya siapa diriku dan segala jenis pertanyaan untuk menguji apakah yang berada dalam tubuhku adalah benar aku. Mima. Aku tak bergeming, mengabaikan pertanyaan yang bertubi-tubi darinya. Kemudian aku direbahkan kembali.
Ia menatapku dalam. Terlihat kecemasan memuncak dari matanya yang indah. Aku berusaha menjawab dan merespon segala tindakannya. Nihil. Jemari itu seakan-akan menghipnotis kesadaranku.
"Mima, berdoa, ayo berdoa, sadar Mima," ucap Benji lirih.
Ingin rasanya lidah ini mengucapkan doa yang diminta, namun yang keluar dari mulutku hanyalah tawa sinis seakan merendahkan makna doa. Benji terkejut, refleks ia menamparku kecil karena takutnya.
Ia membimbingku untuk mulai berdoa, ia mengucapkan doa menurut kepercayaan kami. Perlahan-lahan mulutku terbuka dan mengikuti Benji, aku menangis. Jemari itu seakan tak mau lepas dari rongga dadaku. Menusuk sakit.
Ketika doa kami selesai, satu persatu jemari tua itu lepas dari tubuhku, aku pun melemparkan tubuhku pada Benji ketakutan, berusaha mencari kenyamanan. Aku melihat samar-samar jemari itu memudar, dengan tatapan nanar, akhirnya aku tersadar.
Kebetulan malam ini aku menginap dirumah Benji, aku mengobrol sebentar dengan ibunya dan memutuskan untuk tidur di lantai 2.
Waktu menunjukan pukul 23.00, pantas saja aku mengantuk. Aku tertidur menghadap arah tembok membelakangi Benji. Tiba-tiba aku merasakan jariku mencakar-cakar ke tebok dan aku menangis. Benji terbangun ketakutan, ia memanggil namaku berulang kali namun aku tidak menyauti nya. Rongga dadaku seperti tertahan ke tempat tidur oleh jemari berkuku panjang milik seorang perempuan tua. Mataku memandang dengan jelas, seperti saat menggunakan kacamata. Nafasku tidak teratur seakan mencari udara, namun tidak berhasil. Benji menggoncangkan tubuhku berusaha menyatukan sebagian diriku.
Benji berhasil merubah posisi ku yang awal nya terbaring kemudian menjadi terduduk. Tatapanku kosong. Jemari tua itu menghantui alam bawah sadarku. Kekasihku mulai bertanya siapa diriku dan segala jenis pertanyaan untuk menguji apakah yang berada dalam tubuhku adalah benar aku. Mima. Aku tak bergeming, mengabaikan pertanyaan yang bertubi-tubi darinya. Kemudian aku direbahkan kembali.
Ia menatapku dalam. Terlihat kecemasan memuncak dari matanya yang indah. Aku berusaha menjawab dan merespon segala tindakannya. Nihil. Jemari itu seakan-akan menghipnotis kesadaranku.
"Mima, berdoa, ayo berdoa, sadar Mima," ucap Benji lirih.
Ingin rasanya lidah ini mengucapkan doa yang diminta, namun yang keluar dari mulutku hanyalah tawa sinis seakan merendahkan makna doa. Benji terkejut, refleks ia menamparku kecil karena takutnya.
Ia membimbingku untuk mulai berdoa, ia mengucapkan doa menurut kepercayaan kami. Perlahan-lahan mulutku terbuka dan mengikuti Benji, aku menangis. Jemari itu seakan tak mau lepas dari rongga dadaku. Menusuk sakit.
Ketika doa kami selesai, satu persatu jemari tua itu lepas dari tubuhku, aku pun melemparkan tubuhku pada Benji ketakutan, berusaha mencari kenyamanan. Aku melihat samar-samar jemari itu memudar, dengan tatapan nanar, akhirnya aku tersadar.
Comments
Post a Comment