Skip to main content

Di Depan

Ada apa sih di depan? Ya, ada masa depan saya. Memang belum terlihat, dan memang tidak akan mungkin saya bisa melihat masa depan. Namun yang saya yakini pasti adalah, apa yang saya kerjakan saat ini dan saya alami saat ini sudah menunjukan kira-kira masa depan saya seperti apa.

Dalam umur saya yang masih menginjak di angka 21, belum banyak prestasi yang saya dapatkan. Saya sempat merasa minder karena saya belum bisa meraih prestasi-prestasi yang mungkin orang lain sudah dapatkan. Kebodohan saya waktu itu adalah saya selalu membandingkan diri saya terhadap orang lain, dimana orang lain tersebut adalah orang yang pernah menjadi bagian dari diri pasangan saya. Saya merasa dirinya lebih hebat dan lain sebagainya karena telah banyak mendapatkan penghargaan, serta terlihat berwawasan luas. Ia telah menyelesaikan S2 nya dan memiliki pikiran dewasa, sempat saya berpikir pasangan saya lebih cocok dengannya, karena faktor umur mereka yang tidak terlalu jauh, serta kecocokan dari cara berpikirnya. Saya selalu merasa saya tidak lebih hebat darinya, secara saya hanya baru lulusan D3 dan bekerja di perusahaan besar dengan posisi sebagai "supporter" dari sekretaris eksekutif. Pola pikir saya pun tidak bisa mengimbangi pasangan saya dan mungkin mantannya(?) hahaha. Saya tidak tahu banyak tentang politik, dia tahu. Saya tidak tahu banyak tentang berbagai daerah di Indonesia, dia tahu. Saya tidak sedewasa dia, saya masih anak-anak ditambah ke-apa adaan saya yang kalau kata orang-orang "bangor". Lantas, kenapa?

Setelah saya membaca buku motivasi diri, saya mulai paham, porsi orang akan berbeda-beda. Cara berpikir orang satu dengan yang lainnya pasti memiliki perbedaan. Nasib dan penghargaan bisa diraih dengan waktu yang berbeda pula. Saya merasa waktu yang berharga ini saya buang sia-sia dengan meratapi nasib mengapa saya tidak begitu, mengapa saya tidak begini. Saya percaya saya juga memiliki potensi yang tidak kalah banyak dari orang lain. Menurut buku yang saya baca, potensi yang kita miliki tidak selalu harus menjadi potensi yang bisa dilihat dan diapresiasi khalayak banyak. Bakat sekecil apapun jika bisa membawa dampak yang baik bagi orang-orang terdekat juga sudah cukup membanggakan. Porsi potensi orang pun juga akan berbeda, mungkin ia pandai dan mampu menyelesaikan segala pekerjaan atau pendidikan hingga mendapatkan penghargaan dan gelar, karena ia mampu dan Tuhan mengizinkan ia untuk menyelesaikan semuanya di waktu ini. Saya? Saya juga bisa mendapatkan gelar seperti dia, namun bukan di waktu ini. Saya bersyukur, walaupun saya hanya lulusan D3, saya bisa langsung bekerja, saya mencintai pekerjaan saya karena didukung dengan lingkungan yang baik. Di usia saya inipun saya sudah merencanakan pernikahan, dimana tidak semua orang mempunyai kesempatan yang sama untuk memikirkan hal ini, di usia yang ya, cukup muda. Ini merupakan penghargaan terbesar untuk hidup saya. Mendapat pasangan yang luar biasa, sahabat luar biasa, orang tua luar biasa. Jadi, tidak semua potensi atau bakat harus diapresiasi orang di luar sana. 

Pun sama dengan fisik, kalau dibaca di cerita saya sebelumnya, saya selalu dan terus membahas kelebihan fisik seseorang. Rasanya sudah tidak berguna lagi, karena saya semakin percaya dan yakin porsi kecantikan akan berbeda-beda, tinggal bagaimana cara kita mensyukurinya. "Mari kita abaikan sedikit kekurangan yang kita miliki, seperti tidak memiliki tubuh seindah para model, tidak memakai baju bermerk, kemana-mana masih menggunakan motor kreditan. Tidak masalah. Takut dihina orang? Jangan khawatir. Mereka tidak turut campur dalam setiap rupiah yang kita hasilkan dan gunakan. Mengapa mesti repot?" (Berdamai dengan Diri Sendiri, Muthia Sayekti). Jujur saya lebih iri ketika melihat para model atau artis yang berbadan ideal mungkin goals. Tapi mereka MODEL! Memang sepantasnya dan sewajarnya mereka memiliki badan seperti itu, yang fit to camera, tapi kan saya bukan model, jadi buat apa bersusah payah harus menguruskan badan hingga jadi tulang? Sejauh ini dengan badan saya yang kata pasangan saya cukup, saya tetap sehat dan bugar. Tergantung selera. 

Jadi, buat apa saya selalu melihat ke belakang? Semua sudah tersedia di masa ini, dan di depan.  

Comments

Popular posts from this blog

Bucin

Apa sih Bucin? Kata ini kerap terdengar dikalangan masyarakat sekarang, dan terkadang saya juga dijuluki "Bucin" ini. Kepanjangan dari kata ini tidak lain adalah Budak Cinta. Lalu, mengapa banyak orang mengatakan hal ini kepada pasangan-pasangan yang sedang jatuh cinta sedemikian rupa? Hmm. Kata orang Bucin itu adalah orang yang apa-apa selalu memberi prioritas utama pada pasangannya. Pertanyaannya, ada yang salah dengan menjadikan tambatan hatinya sebagai prioritas? Bagi saya tidak. Tingkah laku seperti apa yang bisa membuat seseorang dikatakan "Bucin" ? Dari pengalaman saya, saya akan coba tuliskan disini. 1. Mengabari pasangan saya kapanpun dan dimanapun.     Aneh menurut saya hal ini dikatakan sebagai "Bucin" things. Padahal tujuan dari mengabari pasangan adalah agar pasangan kita tidak merasa khawatir dan dapat memantau keberadaan kita, sehingga jika terjadi sesuatu hal yang darurat pasangan kita akan tahu keberadaan kita  dan bisa segera men...

Telinga Yang Tak Pernah Lelah Mendengar

Ketika lidahku tidak bisa ku redam, keluhku, resahku, khawatirku, ada telinga yang siap mendengar setiap saat. Aku tahu, ada kalanya telinga itu lelah mendengar, lelah menangkap kata-kata ku, lelah berpaku pada keluhku. Terkadang aku hanya mau ditenangkan dan dipeluk, tapi aku sadar sabar mu ada batasnya, nasihatmu ada titiknya yang mengharuskan ku menata hatiku sendiri bagaimana aku bisa mengolah perasaanku. Selain telinga mu, aku juga punya tempat mengadu dan berkeluh yang lebih besar kuasanya. Aku punya Tuhan. Walaupun terkadang, aku sebagai manusia yang seperti tidak tahu diri, hanya mengeluh, berkeluh dan berpeluh, tapi dibalik itu, aku selalu berusaha menyematkan syukurku, terimakasihku, dan sukacita ku.  Memang, hanya keluhku yang aku lihatkan, namun sebenarnya dalam hatiku yang terdalam aku selalu berusaha mengucap syukur dan bahagiaku. Tolong, jangan pernah lelah mendengarku, walau aku tahu semua itu ada batasnya.